Sejarah Perkembangan Orkestra di Indonesia
Dalam postingan saya sebelumnya,
telah kita bahas tentang apa itu Musik orkestra. Setelah mengetahuinya, kita
juga perlu mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan musik orkestra agar lebih
memahami maksud dan makna musik orkestra. Kali ini yuk kita bahas tentang
Sejarah perkembangan orkestra di Indonesia.
Hadirnya musik orkestra di Indonesia disebabkan oleh adanya kontak dengan
bangsa-bangsa Barat. Pengaruh Barat dalam hal seni telah banyak terjadi seperti
yang diungkapkan oleh R.M. Soedarsono berikut ini,
Pengaruh Barat (Eropa) yang berawal
sejak datangnya para pedagang Portugis, yang kemudian disusul oleh hadirnya
orang-orang (brasswind section), dan seksi perkusi (percussion section).
Perkembangan awal orkestra yaitu pada jaman Barok (1720) terdapat sebuah
bentuk orkestra kecil yang hanya terdiri dari instrumen gesek (6 biola, 3
viola, dan 2 cello) dan continuo (harpsichord, merupakan instrumen yang
berbunyi terus menerus dalam sebuah komposisi).
Pada jaman Klasik (1790) instrumen terumpet, timpani, dan horn mulai digunakan
walaupun masih jarang. Ciri tertentu dari orkestra klasik adalah tanpa
menggunakan continuo, tapi diganti dengan seksi gesek yang lebih besar (14
biola, 6 biola, 4 cello, dan 2 double bass) dan 2 pemain untuk setiap instrumen
flute, oboe, clarinet, horn, terumpet, dan timpani.
Kontak awal musik Barat di pulau Jawa dapat diamati dari uraian Sumarsam
yang menyebutkan adanya pelaut-pelaut Eropa yang merapat di pulau Jawa berikut
ini,
Pengenalan musik Eropa yang paling awal di Jawa dapat ditelusuri akarnya
dari musik yang dibawa oleh pelayar-pelayar kapal yang singgah di pulau Jawa
pada abad XVI. Francis Drake adalah contohnya, mendarat di pantai selatan Jawa,
ia menuliskan dalam buku perjalanannya bahwa musisi kapal memainkan musik untuk
seorang raja (atau penguasa setempat), lalu seorang raja membalas dengan
permainan musiknya. Tidak ada identifikasi musik lokal ini, apakah gamelan atau
ansambel musik yang lain. Musisi kapal terdiri dari 1 pemain trumpet dan empat
orang (kemungkinan pemain gesek). Trumpet adalah instrumen penting di kapal,
untuk tanda-tanda penghormatan.
Tahap kedua adalah musik yang dibawa oleh pedagang - pedagang Portugis .
Musik mereka dibawa dan dimainkan oleh budakbudak mereka yang terdiri dari orang-orang
India, Afrika dan Asia Tenggara .
Musik Barat juga mengalami perkembangan di lingkungan keraton, sebagaimana
dikemukakan Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi
di bawah ini:
Pengaruh Barat terhadap musik
sangat menonjol Di istana-istana Jawa Tengah (termasuk Daerah Istimewa
Yogyakarta), musik Barat juga menyusup ke ansambel gamelan. Dalam beberapa
komposisi gending atau lagu yang mengiringi tari putri bedaya dan serimpi dari
keraton Yogyakarta, menyusup beberapa instrumen musik Barat, seperti genderang,
trombone, terompet, dan kadang-kadang juga klarinet.
Pertunjukan musik di Keraton Yogyakarta mengalami kemajuan pesat pada
masa pemerintahan Sultan HB VIII (1921-1939), dengan kehadiran Walter Spies
pada akhir November 1923. Spies mempunyai peran yang sangat besar terhadap
perkembangan kehidupan musikal di Yogyakarta. Spies mendapat pekerjaan tetap
sebagai instruktur musik dan dirigen Kraton Orkest Jogja dengan gaji 100
founsterling per bulan . Selain Kraton Orkest Jogja terdapat pula Orkes Societet
de Vereeniging yang didirikan oleh tahun 1822 oleh pengusaha perkebunan di
Yogjakarta. Orkes ini dipimpin oleh Attilio Genocchi dari Italia dan Carl
Gotsch dari Austria.
Perkembangan musik orkestra di Indonesia memang mengalami masa pasang-surut,
pada tahun 50-an di Jakarta pernah menjadi jaman keemasan musik orkestra, namun
sayang tidak ada bukti-bukti rekaman maupun catatan fisik tentang musik orkestra
tersebut, seperti yang pernah diutarakan oleh conductor Twilite Orchestra Addie
MS dalam pengantar buku Twilite Orchestra yang ditulis oleh Ninok Leksono
(2004). Atas dasar kenyataan inilah Twilite Orchestra mendapat inspirasi untuk
segera membuat album rekaman dan buku tentang perjalanan Twilite Orchestra selama
sepuluh tahun sejak berdirinya.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 membuat keterpurukan
di sana-sini, termasuk kelangsungan hidup musik orkestra. Pada waktu itu
Twilite Orkestra tercatat hanya melakukan konser sekali saja yaitu di Gedung
Teater Tanah Airku, TMII, padahal pada tahun – tahun sebelumnya mampu menggelar
konser sebanyak lima kali dalam setahun.Seiring dengan perkembangan politik dan
ekonomi yang semakin membaik, keadaan musik orkestra juga mengalami pertumbuhan
kembali. Beberapa grup orkestra yang lain seperti Nusantara Symphony Orkestra (NSO)
yang dikoordinasi oleh Miranda Goeltom hadir di tengah masyarakat dengan
membawakan repertoar musik klasik Barat, mulai dari komposisi karya Bach,
Mozart dan sebagainya.
Kekayaan suara yang dimiliki orkestra membuat Addie MS tergerak untuk
mensosialisasikan musik simfonik ke kalangan masyarakat yang lebih luas, karena
ada anggapan bahwa musik orkestra identik dengan musik yang hanya dikonsumsi
oleh kalangan atas saja. Twilite Orchestra berusaha menjembatani apresiasi
masyarakat menengah ke bawah tentang musik orkestra dengan menggelar konserkonser
di tempat umum seperti di mall, mengunjungi sekolah-sekolah, kampus-kampus
seperti di ITB (Bandung), UGM (Jogjakarta), dan ITS (Surabaya). Dalam program mengunjungi
sekolah-sekolah, para siswa diperkenalkan dengan alat-alat musik orkestra,
seperti biola, cello, contrabass, flute dan sebagainya. Mereka juga diajarkan
secara singkat bagaimana teknik memainkan alat-alat musik tersebut.
Setelah
melihat dan mempelajari Sejarah perkembangan orkestra di Indonesia, kalian
pasti berkata “ wow, banyak juga ya!!!”. Santai saja. Saya adalah orang yang
baik kok, saya memberikan file wordnya lho...
Download file word Sejarah perkembangan musik orkestra di Indonesia : klik here
Semoga
Postingan saya kali ini bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih : )